Politik
Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa kolonial sangat dipengaruhi oleh sistem kolonial yang diterapkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Setelah sistem tanam paksa dihapuskan pada tahun 1870 pemerintah kolonial menerapkan sistem ekonomi baru yang lebih liberal.
Sistem
tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870.
Menurut undang-undang tersebut penduduk pribumi diberi hak untuk memiliki tanah
dan
menyewakannya kepada pswasta. Tanah pribadi yang dikuasai rakyat secara
adat dapat disewakan selama 5 tahun. Sedangkan tanah pribadi dapat disewakan
selama 20 tahun.
Masalah
sistem perburuhan dikeluarkan aturan yang ketat. Tahun 1872 dikeluarkan
Peraturan Hukumam Polisi bagi buruh yang meninggalkan kontrak kerja. Pada tahun
1880 ditetapkan Koeli Ordonanntie yang mengatur hubungan kerja antara koeli
(buruh) dengan majikan, terutama di daerah perkebunan di luar Jawa.
Walaupun
wajib kerja dihapuskan sesuai dengan semangat liberalisme, pemerintah kolonial
menetapkan pajak kepala pada tahun 1882. Pajak dipungut dari semua warga desa
yang kena wajib kerja. Pajak tersebut dirasakan oleh rakyat lebih berat
dibandingkan dengan wajib kerja.
Ekonomi
Di
bidang ekonomi, penetrasi kapitalisme sampai pada tingkat individu, baik di
pedesaan maupun di perkotaan. Tanah milik petani menjadi objek dari
kapitalisme. Tanah tersebut menjadi objek komersialisasi, satu hal yang tidak
kekenal sebelumnya dalam masyarakat tradisional di pedesaan.
Dengan
demikian, terjadi perubahan dalam masyarakat pedesaan terutama dalam melihat aset
tanah yang dimilikinya. Apabila sebelum adanya UU Agraria tahun 1870 tanah yang
dimiliki tidak memiliki arti ekonomi yang penting kecuali untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari maka setelah dikeluarkannya undang-undang tersebut
terjadi komersialisasi aset petani. Penetrasi tersebut sering kali mengabaikan
hak-hak rakyat menurut hukum adat. Nilai ekonomi uang telah menggantikan nilai
ekonomi menurut cara-cara ekonomi tradisional seperti sistem barter dan
lain-lain.
Pada
akhir abad ke-19 lahirlah kota pedalaman seperti Bandung, Malang dan Sukabumi.
Kota-kota tersebut lahir karena di sekitarnya dikembangkan perkebunan.
Sedangkan di pesisir pantai berkembang pula kota-kota pesirir seperti Tuban,
Gresik, Batavia, Surabaya, Semarang, Banten, Makasar, yang telah lama ada
maupun kota baru seperti Kotaraja, Medan, Padang, Palembang, Pontianak, dan
Banjarmasin.
Pendidikan
Pembangunan
pendidikan telah mempercepat mobilitas penduduk. Sekolah-sekolah yang didirikan
di perkotaan telah menarik minat yang besar dari penduduk sekitarnya. Banyak
penduduk yang berpindah dari satu kota ke kota lainnya karena alasan sekolah.
Misalnya, para priyayi dari berbagai kabupaten di Jawa Barat banyak yang
berpindah ke Bandung untuk sekolah. Lulusan dari sekolah di sana ada yang tetap
bermukin di kota tersebut, ada juga yang kembali ke daerah asalnya atau ke
daerah lain tempat mereka bekerja.
Pendidikan
yang berkembang di Indonesia pada abad ke-19 menggunakan sistem yang
diselenggarakan oleh organisasi agama Kristen, Katholik dan Islam. Sistem
persekolahan Islam menggunakan sistem pesantren. Di luar itu, pemerintah
kolonial menerapkan sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan Islam
dilaksanakan melalui pondok pesantren dengan kurikulum yang terbuka serta staf
pengajar yang berasal dari para kiai. Sistem pendidikan ini lebih menekankan
pada pendidikan agama, kemampuan membaca huruf arab serta dengan menggunakan
bahasa setempat. Sistem pendidikan pesantren dianggap lebih demokratis sebab
membuka kesempatan pada semua golongan untuk memperoleh pendidikan di sana.
Materi pelajaran umum dalam sistem ini hanya mendapat porsi yang lebih kecil.
Namun demikian, melalui sistem pendidikan ini telah dilahirkan banyak orang
yang memiliki pandangan yang maju serta mampu melihat kondisi buruk masyarakat
yang menjadi korban dari imperialisme Barat.
Keberadaan
sekolah tersebut mengakibatkan terjadinya kemajuan yang cukup pesat dalam
bidang pendidikan di Hindia Belanda yang ditandai dengan meningkatnya jumlah
siswa dan guru antara tahun 18731883. Misalnya, pada tahun 1873 terdapat 5512
jumlah siswa di Jawa dan Madura dan meningkat menjadi 16214 tahun 1883.
Sedangkan untuk daerah lainnya terdapat 11276 jumlah siswa pada tahun 1873,
meningkat menjadi 18694 sepuluh tahun kemudian. Sedangkan untuk guru seluruh
Indonesia meningkat dari 411 tahun 1873 menjadi 1241 sepuluh tahun kemudian.
Sosial Dan Budaya
Menurut
Sartono Kartodirjo (1988), perkembangan pendidikan abad ke-19 dipengaruhi oleh
kecenderungan politik dan budaya sebagai berikut:
1.
pengajaran bersifat netral dan tidak didasarkan atas agama tertentu. Hal ini
dipengaruhi oleh faham humanisme dan liberalisme di Negeri Belanda.
2. bahasa pengantar diserahkan kepada sekolah masing-masing sesuai kebutuhan. Misalnya jika murid pribumi menghendaki bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar maka sekolah harus memenuhinya.
3. sekolah-sekolah diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis pekerjaan kejuruan.
4. sekoleh pribumi diarahkan agar lebih berakar pada kebudayan setempat. Faktor-faktor tersebutlah yang menjadi penyebab bahasa daerah dijadikan sebagai bahasa pengantar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pangreh praja (birokrasi pemerintahan) maka didirikanlah hoofdenschool di Bandung, Magelang, Probolinggo dan Tondano pada tahun 1878. Di sekolah tersebut digunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada tahun 1899 hoofdenschool berubah nama menjadi OSVIA (Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren). Di sekolah tersebut diajarkan mengenai hukum, administrasi, hukum negara untuk menyiapkan calon pangreh praja.
2. bahasa pengantar diserahkan kepada sekolah masing-masing sesuai kebutuhan. Misalnya jika murid pribumi menghendaki bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar maka sekolah harus memenuhinya.
3. sekolah-sekolah diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis pekerjaan kejuruan.
4. sekoleh pribumi diarahkan agar lebih berakar pada kebudayan setempat. Faktor-faktor tersebutlah yang menjadi penyebab bahasa daerah dijadikan sebagai bahasa pengantar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pangreh praja (birokrasi pemerintahan) maka didirikanlah hoofdenschool di Bandung, Magelang, Probolinggo dan Tondano pada tahun 1878. Di sekolah tersebut digunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada tahun 1899 hoofdenschool berubah nama menjadi OSVIA (Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren). Di sekolah tersebut diajarkan mengenai hukum, administrasi, hukum negara untuk menyiapkan calon pangreh praja.
Di
luar sekolah di atas, pemerintah kolonial juga mendirikan sekolah kelas satu
atau eerste klasse untuk anak-anak priyayi dengan menggunaan bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantar. Sedangkan untuk rakyat kebanyakan didirikan tweede
klasse atau sekolah kelas dua dengan mengguankan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar.
Pada
awal abad ke-20 hubungan nyai dan tuan hanya sebagai suka sama suka dan menjadi
bisnis tersendiri. Maka para nyai memberontak karena kedudukan mereka menjadi
tidak sejajar lagi. Dalam perkembangan selanjutnya para nyai menjadi semakin
berani, harta dan kemewahan merupakan dambaan mereka yang utama dan bahkan
banyak dari mereka yang berani berhubungan dengan lelaki lain.
0 komentar:
Posting Komentar